Pembaruan
Generasi dengan Pendekatan School Nurse
Teacher untuk Menyudahi Siklus “Budaya Baru”
Oleh, Ilham S.Kep., Ns.
Memasuki era
yang lebih modern muncul sebuah “warisan budaya” baru bukan benda. Warisan budaya
dengan perkembangan begitu pesat namun dalam arti negative, yaitu berbanding terbalik
dengan perkembangan kecerdasan manusia. Dimana seharusnya dengan kecerdasan
manusia Indonesia mampu mengurangi implementasi budaya baru ini, tapi
kenyataannya justru menunjukkan peningkatan. Jumlah pelakunya makin bertambah
dari waktu ke waktu.
Bagian
mencengangkan lainnya adalah budaya ini dilakukan secara massal, utamanya di
kota-kota besar.Tidak mengenal komplek-komplek perumahan maupun tempat-tempat
umum. Semuanya ikut terlibat dalam eksistensi budaya ini, utamanya para
anak-anak generasi penerus bangsa.
Perkenalkanlah “warisan
budaya” baru Indonesia, “Buang Sampah Sembarangan.”
Sesungguhnya warisan
ini memiliki siklus hampir mirip budaya kuno. Muncul dari kebiasaan meniru seseorang yang
terjadi sejak masa anak-anak yang meniru keluarga membuang sampah sembarangan.
Berlanjut pada masa remaja hingga dewasa, ketegasan untuk membuang sampah pada
tempatnya sudah diacuhkan karena kebiasaan pada masa anak-anak dan remaja.
Selanjutnya terjadi pernikahan sehingga melahirkan
generasi yang juga akan merasa biasa jika membuang sampah sembarangan.
Siklus itu terus
menerus berlanjut dari generasi ke generasi tanpa pernah putus, seolah menjaga
agar generasinya tidak akan punah. Seperti sebuah bangsa yang menjaga budayanya
dengan cara menurunkan budaya dari generasi ke generasi, bahkan ketika generasinya
masih didalam kandungan. Menurut saya, seorang ibu hamil yang membuang sampah
semabarangan, secara tidak langsung memberikan contoh buruk kepada calon
bayinya yang masih dalam kandungan.
Meluasnya budaya
baru ini juga bagian dari siklus meniru. Dianggap lumrah melihat orang lain
membuang sampah sembarangan, akhirnya melahirkan satu pohon generasi lagi. Dari
seorang anak yang gemar membuang sampah di samping tempat sampah, tumbuh
menjadi pemuda dengan kebiasaan yang sulit diubah. Selanjutnya diapun akan jadi
“role model” bagi generasi berikutnya.
Saya rasa tidak butuh penjelasan lagi bagaimana
dampak dari membuang sampah sembarangan, tetapi yang perlu ditekankan adalah
bagaimana cara agar “budaya massal” ini bisa punah.
Sensitivitas
pemerintah memandang budaya ini sebagai sebuah masalah patut diapresiasi, meski
hasilnya masih jauh dari ekspektasi. Edukasi lingkungan melalui media elektronik
dan percetakan, penyediaan tempat sampah ditempat-tempat umum, dan pengadaan
truk pengangkut sampah telah diupayakan. Tetapi sekali lagi, budaya ini
mengalahkan kepekaan dan pikiran pelaku pembuangan sampah.
Ada taman yang
kelihatan bersih pada musim kemarau, namun setelah hujan datang, sampah yang
dibuang sembarangan terbawa oleh air selokan hingga naik ke lahan taman.
Ironisnya, itu tidaklah cukup memberikan pelajaran untuk lebih bijak membuang
sampah pada tempatnya.
Berbagai pihak berusaha
bersama-sama memutus rantai budaya ini. Namun siklus kembali berputar,
kesadaran kian pudar.Terlepas dari semua itu, perlu dipahami bahwa budaya ini seperti
sudah mengalir di dalam pembulu darah serta bertaut dengan DNA. Buktinya,
segala macam upaya telah dilakukan tetapi tidak berhasil mengurai pelakunya
yang tuli nasehat, buta tempat sampah, serta buta huruf dan rambu-rambu
larangan. Oleh karena itu yang perlu dilakukan adalah memperbarui generasi.
Memperbarui
generasi mungkin terdengar kontroversial dan dramatis. Namun bisa membuat generasi
peka terhadap sampah. Memperbaharui generasi dapat dilakukan dengan cara
membangunkan “Gen.” Gen adalah unit pewarisan sifat organisme hidup. Simpelnya
pewarisan sifat dari ayah dan ibu kepada anak. Ada dua jenis sifat Gen, yaitu
Gen yang menyala dan Gen yang tertidur. Gen menyala berupa sifat-sifat
pewarisan, sedangkan Gen yang tertidur disebut sebagai “potensi.”
Gen Potensi
itulah yang perlu dibangunkan pada generasi baru. Seperti kata Professor Kazuo
Murakami bahwa "apa yang didapat secara bawaan memungkinkan untuk diubah dengan cara
mengubah lingkungan atau bertemu lingkungan baru yang selama ini tidur." Dalam
hal ini, bukan mengubah lingkungan secara menyeluruh, melainkan memberikan
ruang bagi generasi baru untuk sadar lebih dini tentang lingkungan. Alasannya
cukup mendasar, karena mengubah kebiasaan di usia lebih dari 12 tahun tergolong
sulit. Sebaliknya akan mudah mengubah kebiasaan dibawah usia 12 tahun. Artinya,
generasi pemeran utama disini adalah anak-anak yang duduk dibangku sekolah dasar
dengan pendidikan lingkungan seperti yang dilakukan oleh Jepang, yaitu
penambahan mata pelajaran school nurse
teacher.
Mata pelajaran
yang menghadirkan seorang guru perawat, mengajarkan tentang pentingnya menjaga
kesehatan diri sendiri dan lingkungan yang dirancang sedemikian rupa oleh para
pakar perkembangan anak. Dengan begitu, anak-anak akan terbiasa dengan perilaku
sehat diri dan lingkungan. Kebiasaan itulah yang membangunkan Gen tidur
(potensi), nantinya akan dibawa melewati tahap-tahap usia. Pada akhirnya
melewati siklus pewarisan budaya baru tadi, memperbaruhinya menjadi budaya
buang sampah pada tempatnya.
No comments:
Post a Comment