Saturday, December 29, 2018

SOLUSI UNTUK MENYUDAHI "BUANG SAMPAH SEMBARANGAN"


Pembaruan Generasi dengan Pendekatan School Nurse Teacher untuk Menyudahi Siklus “Budaya Baru”

Oleh, Ilham S.Kep., Ns.



Memasuki era yang lebih modern muncul sebuah “warisan budaya” baru bukan benda. Warisan budaya dengan perkembangan begitu pesat namun dalam arti negative, yaitu berbanding terbalik dengan perkembangan kecerdasan manusia. Dimana seharusnya dengan kecerdasan manusia Indonesia mampu mengurangi implementasi budaya baru ini, tapi kenyataannya justru menunjukkan peningkatan. Jumlah pelakunya makin bertambah dari waktu ke waktu.

Bagian mencengangkan lainnya adalah budaya ini dilakukan secara massal, utamanya di kota-kota besar.Tidak mengenal komplek-komplek perumahan maupun tempat-tempat umum. Semuanya ikut terlibat dalam eksistensi budaya ini, utamanya para anak-anak generasi penerus bangsa.

Perkenalkanlah “warisan budaya” baru Indonesia, “Buang Sampah Sembarangan.”

Sesungguhnya warisan ini memiliki siklus hampir mirip budaya kuno. Muncul dari kebiasaan meniru seseorang yang terjadi sejak masa anak-anak yang meniru keluarga membuang sampah sembarangan. Berlanjut pada masa remaja hingga dewasa, ketegasan untuk membuang sampah pada tempatnya sudah diacuhkan karena kebiasaan pada masa anak-anak dan remaja. Selanjutnya terjadi pernikahan sehingga melahirkan generasi yang juga akan merasa biasa jika membuang sampah sembarangan.

Siklus itu terus menerus berlanjut dari generasi ke generasi tanpa pernah putus, seolah menjaga agar generasinya tidak akan punah. Seperti sebuah bangsa yang menjaga budayanya dengan cara menurunkan budaya dari generasi ke generasi, bahkan ketika generasinya masih didalam kandungan. Menurut saya, seorang ibu hamil yang membuang sampah semabarangan, secara tidak langsung memberikan contoh buruk kepada calon bayinya yang masih dalam kandungan.

Meluasnya budaya baru ini juga bagian dari siklus meniru. Dianggap lumrah melihat orang lain membuang sampah sembarangan, akhirnya melahirkan satu pohon generasi lagi. Dari seorang anak yang gemar membuang sampah di samping tempat sampah, tumbuh menjadi pemuda dengan kebiasaan yang sulit diubah. Selanjutnya diapun akan jadi “role model” bagi generasi berikutnya.

Saya rasa tidak butuh penjelasan lagi bagaimana dampak dari membuang sampah sembarangan, tetapi yang perlu ditekankan adalah bagaimana cara agar “budaya massal” ini bisa punah.

Sensitivitas pemerintah memandang budaya ini sebagai sebuah masalah patut diapresiasi, meski hasilnya masih jauh dari ekspektasi. Edukasi lingkungan melalui media elektronik dan percetakan, penyediaan tempat sampah ditempat-tempat umum, dan pengadaan truk pengangkut sampah telah diupayakan. Tetapi sekali lagi, budaya ini mengalahkan kepekaan dan pikiran pelaku pembuangan sampah.

Ada taman yang kelihatan bersih pada musim kemarau, namun setelah hujan datang, sampah yang dibuang sembarangan terbawa oleh air selokan hingga naik ke lahan taman. Ironisnya, itu tidaklah cukup memberikan pelajaran untuk lebih bijak membuang sampah pada tempatnya.

Berbagai pihak berusaha bersama-sama memutus rantai budaya ini. Namun siklus kembali berputar, kesadaran kian pudar.Terlepas dari semua itu, perlu dipahami bahwa budaya ini seperti sudah mengalir di dalam pembulu darah serta bertaut dengan DNA. Buktinya, segala macam upaya telah dilakukan tetapi tidak berhasil mengurai pelakunya yang tuli nasehat, buta tempat sampah, serta buta huruf dan rambu-rambu larangan. Oleh karena itu yang perlu dilakukan adalah memperbarui generasi.

Memperbarui generasi mungkin terdengar kontroversial dan dramatis. Namun bisa membuat generasi peka terhadap sampah. Memperbaharui generasi dapat dilakukan dengan cara membangunkan “Gen.” Gen adalah unit pewarisan sifat organisme hidup. Simpelnya pewarisan sifat dari ayah dan ibu kepada anak. Ada dua jenis sifat Gen, yaitu Gen yang menyala dan Gen yang tertidur. Gen menyala berupa sifat-sifat pewarisan, sedangkan Gen yang tertidur disebut sebagai “potensi.”




Gen Potensi itulah yang perlu dibangunkan pada generasi baru. Seperti kata Professor Kazuo Murakami bahwa "apa yang didapat secara bawaan memungkinkan untuk diubah dengan cara mengubah lingkungan atau bertemu lingkungan baru yang selama ini tidur." Dalam hal ini, bukan mengubah lingkungan secara menyeluruh, melainkan memberikan ruang bagi generasi baru untuk sadar lebih dini tentang lingkungan. Alasannya cukup mendasar, karena mengubah kebiasaan di usia lebih dari 12 tahun tergolong sulit. Sebaliknya akan mudah mengubah kebiasaan dibawah usia 12 tahun. Artinya, generasi pemeran utama disini adalah anak-anak yang duduk dibangku sekolah dasar dengan pendidikan lingkungan seperti yang dilakukan oleh Jepang, yaitu penambahan mata pelajaran school nurse teacher.

Mata pelajaran yang menghadirkan seorang guru perawat, mengajarkan tentang pentingnya menjaga kesehatan diri sendiri dan lingkungan yang dirancang sedemikian rupa oleh para pakar perkembangan anak. Dengan begitu, anak-anak akan terbiasa dengan perilaku sehat diri dan lingkungan. Kebiasaan itulah yang membangunkan Gen tidur (potensi), nantinya akan dibawa melewati tahap-tahap usia. Pada akhirnya melewati siklus pewarisan budaya baru tadi, memperbaruhinya menjadi budaya buang sampah pada tempatnya.

No comments:

Post a Comment